Alhamdulillah, solawat dan salam kepada Rasulullah saw. Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas hadits mendahulukan tangan ketika turun sujud. Kami memandang bahwa ada sedikit permasalahan yang perlu untuk kami jelaskan berkenaan dengan hadits tersebut, sebab secara zahir hadits tersebut terdapat keterbalikan.
Para ulama hadits juga ada yang mempermasalahkan hadits tersebut, sebagian ada yang memandangnya sebagai hadits maqlub (terbali) dalam matan (susunan kalimat). Sebagaian lagi memandang bahwa hadits tersebut adalah benar dan tidak terdapat terbalik dalam susunan teksnya. Sebagian lagi memandang bahwa hadits mendahulukan tangan tatkala turun sujud bertentangan dengan hadits yang lain, yang memerintahkan untuk mendahulukan dua kaki daripada kedua tangan.
Perbedaan tersebut seiring dengan cara pandang yang berbeda, sebagian melihat pada zahir kalimat, sebagian lagi menggunakan takwil sehingga hadits tersebut tidak terbalik (maqlub). Demikian juga dalam masalah idhtirob dalam susunan teks hadits tersebut dengan hadits yang lain.
Dalam kajian ringan ini kali akan berusaha menjelaskan sedikit tentang permasalahan tersebut, dan kami akan sertakan keterangan-keterangan dan akan kami akhiri dengan sebuah kesimpulan ringan. Semoga bermanfaat bagi kami secara pribadi dan pembaca yang budiman.
Teks Hadits mendahulukan tangan ketika sujud.
وروي عن عبد العزيز الدراوردي ، عن محمد بن عبد الله بن حسن ، عن أبي الزناد ، عن الأعرج ، عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير ، وليضع يديه قبل ركبتيه {أخرجه البيهقي في معرفة السنن والآثر ورواه أيضا أبو داود والنسائي والترمذي وأحمد والدارمي والدارقطني والبغوي في شرح السنة كلهم من طريق محمد بن عبد الله بن حسن عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة.}[1]
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabada : apabila salah seorang diantara kalian sujud (dalam sholat), maka janganlah kalian turun seperti seperti turunnya unta untuk duduk. Maka hendaklah kalian mendahulukan tangan kedua tangan sebalum kedua kaki.
Imam al Bukhori meriwayatkan hadits tersebut dalam at Tarikh ul Kabir, dan mengatakan dalam sanad hadits tersebut ada ilat (cacat) dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Imam at Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut adalah ghorib. Imam ad Daruquthni berpendapat bahwa Abdul Aziz ad Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut.
Bisa kita dapatkan teks hadits tersebut dengan beberapa perbedaan kalimatnya. Adapun secara jelasnya teks yang berbeda tersebut adalah sebagai berikut;
إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ البعيرُ (أحمد ، وأبو داود ، والنسائى ، والبيهقى الدارمى عن أبى هريرة)
إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ الجملُ (أخرجه البيهقى والدارقطني والنسائى وأحمد عن أبى هريرة)
وفي مسند أبي يعلى وابن أبي شيبه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ، وَلا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْفَحْلِ
Perbedaan yang pertama adalah terletak penggantian kata ba’ir dan jamal yang berarti unta, yang dapat kita jumpai dalam hadits lain dengan lafadz fakl yang berarti kuda jantan.
Illat (cacat) dalam sanad hadits
Imam al Bukhori, imam at Tirmidzi dan ad Daruqudni berpendapat ada cacat dalam sanad hadits tersebut. Dalam sanad hadits tersebut ada seorang rowi bernama Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.
Imam al Bukhori dalam at Tarikh ul Kabir mengatakan tidak mengetahi apakah Muhammad bin Abdulla bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az Zinad. Pendapat imam al Bukhori tersebut didasarkan pada salah satu syarat yang ditentukanya dalam menerima hadits bahwa seorang rowi benar-benar bertemu gurunya, dan tidak cukup bahwa seorang rowi satu masa dengan gurunya.
Sedangkan imam at Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut tergolong ghorib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.
Pendapat Imam al Bukhori tentang Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan bukanlah merupakan jarkh (celaan), sebab beliau sedikitpun tidak memberikan komentar atas kepribadian Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Beliau hanya menyangsikan kebertemuan antara Muhammad bin Abdullah bin al Hasan dengan gurunya – Abu az Zinad.
Keraguan Imam al Bukhori tersebut dapat ditepis dengan melihat riwayat hidup Muhammad bin Abdullah al Hasan.
Imam an Nasai berependapat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al Hasan adalah seorang yang tsiqoh. Abu az Zinad wafat pada tahun 130 H, sedangkan Muhammad bin Abdullah al Hasan wafat pada 145 H, dan pada saat itu beliau berusia 45 tahun, jadi sangat memungkinkan sekali Muhammad bin Abdullah bin al Hasan bertemu dengan Abu az Zinat. Dan yang demikian adalah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh imam Muslim – Mu’ashoroh- (pernah sezaman).
Imam ad Daroqothni berpendapat bahwa rowi yang bernama Abdul Aziz ad Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut. Imam Ahmad berpendapat tentang Abdul Aziz ad Darowurdi ” jika ia meriwayatkan dengan hafalanya, ada keraguan. Sedangakan Abu Zur’ah berpendapat bahwa ia adalah orang yang termasuk buruk hafalanya. Namun Yahya Ibn Main dan dan Aly al Madini keduanya berpendapat bahwa Abdul Aziz ad Darowurdi adalah seorang yag tsiqoh.
Oleh karena itu riwayat seorang rowi yang memungkinkan ada kesalahan dalam hafalanya dibutuhkan orang lain meriwayatkan hadits serupa sebagai bukti bahwa tidak ada kesalahan dari hadits yang diriwayatkan oleh orang yang kurang baik hafalannya.
Pendapat akan kesendirian Abdul Aziz ad Darowurdi dalam meriwayatkan hadits ini terbantah. Bahwasanya ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut selain Abdul Aziz ad Darowurdi. Ia adalah Abdullah bin Nafi’ dalam riwayat an Nasai dan Abu Daud.
Wal hasil, pendapat sebagain ulama seperti Imam al Bukhori tentang adanya ilat dalam sanad hadist tersebut karena keberadaan rowi yang bernama Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, yang Imam al Bukhori tidak merasa yakin akan kebertemuanya dengan Abu az Zinad, bukanlah sebuah bentuk jarkh terhadap Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Bahka jika dilihat dari kurun waktu masa hidupnya dan masa hidup Abu az Zinad, telah bisa disimpulkana adanya kemungkinan kuat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al Hasan bertemu dengan Abu az Zinat, sedangkan yang demikian – Mu’asharoh- telah memenuhi syarat shohih sebuah Hadits dalam pandangan imam Muslim.
Sedangkan kesendirian Abdul Aziz ad Darowurdi, dalam meriwayatkah hadits tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Daruquthni, dijawab oleh ulama yang lain bahwa ada orang lain yang meriwayatkan selain Abdul Aziz ad Darowurdi yakni Abdullah bin Nafi’. Oleh sebab itu maka hadits tersebut dapat dihukumi sebagai hadits shohih sebagaima pendapat al Bani dalam irwa ul gholil, dan atau hadits hasan dikarenakan selamatnya para rowi dari cacat yang mengakibatkan ke dhoifan hadits. Wallahu a’lam bis showab.
Idhtirob fi al Matn
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam susunan teks hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain (ta’arud) yang memerintahkan untuk mendahulukan kedua kaki tatkala turun untuk sujud. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut;
حدثنا أبو بكر قال نا ابن فضيل عن عبد الله بن سعيد عن جده عن ابي هريرة يرفعه أنه قال إذا سجد أحدكم فليبتدئ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الفحل {أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه}
Artinya : dari Abu Hurairah ra secara marfuk (bersambung) kepada Rasulullah saw. Sesungguhnya beliau bersabda : “jika dalah seorang diantara kalian sujud, hendaklah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Dan janganlah kalian turun menuju sujud seperti duduknya kuda jantan. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah ra)
Dalam hadits bersebut ada seorang rowi bernama Abdullah bin Said al Maqburi, ia adalah seorang yang munkarul hadist. Yahya bin Said al Qothon pernah duduk dalam majlisnya, dan beliau berpendapat dari hal tersebut bahwa Abdullah bin Said al Maqburi terlihat kebohonganya. Demikian juga Imam al Bukhori, Ahmad dan ad Daruquthni.
Secara susunan teks hadits ini bertentangan dengan isi hadits sebelumnya yang memerintahkan agar mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa dalah hadits tersebut terdapat ta’arudz (salang bertentangan), kemudia disimpulkan bahwa hadits mendahulukan kedua tangan ketika sujud adalah muthorib, kerena susunan teksnya bertentangan dengan hadits yang memerintahkan untuk mendahulukan kedua lutut.
Namun untuk menjadikan sebuah hadits diangap sebagai muthorib apabila terdapat dua hal;
1. adanya pertentangan yang tidak mungkin untuk diambil jalan tengah, dan
2. kedudukan masing-masing hadits sama-sama memiliki tingkat kekuatan yang sama sehingga tidak menmungkinkan menempuh jalan tarjih.
Namun amat disayangkan pendapat yang demikian dapat disangkal dengan bahwa dalam teks hadits yang memerintahkan untuk lebih mendahulukan kedua lutut tidak memiliki sanad yang bisa dikatagorikan sebagai hadits hasan sekalipun. Oleh karena itu menjadikan hadits mendahulukan kedua tangan sebagai hadits muthorib dengan alasan isinya menentang hadits perintah lebih mendahulukan kedua lutut adalah kurang tepat. Sebab masih memungkinkan untuk menempuh cara tarjih. Yakni hadits mendahulukan kedua tangan lebih kuat secara sanad dari hadits mendahulukan kedua lutut. Wallahu a’lam bis showab.
Maqlub (keterbalikan) dalam susunan teks hadits.
Cara duduk unta biasanya diawali denga melipat dua kali depannya kemudian diiringi dengan melipat dua kali belakangnya.
Dua kaki yang depan unta ditempatkan sebagai dua tangan manusia (tatkala turun sujud) sedangkan dua kaki belakang menempati kedudukan dua kaki manusia.
Dari hal tersebut terlihat bahwa dalam teks hadits tersebut ada keterbalikan dengan fakta. Perintah yang pertama adalah agar tidak menyamai duduknya unta dengan mendahulukan tangan (dua kaki belakang pada onta) dari pada kaki (dua kaki belakang pada onta). Sedangkan perintah ke dua adalah hendaklan mendahulukan tangan dari pada kaki.
Ibnu ul Qayyim, berpendapat bahwa dalam teks hadits tersebut terdapat keterbalikan susunan dari rowi (orang yang meriwayatkan hadits). Seharusnya teks tersebuta adalah sebagai berikut :
فَلَا يَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
Artinya : “Maka janganlah kalian turun dalam sujud seperti duduknya unta, maka hendaklah mendahulukan meletakan kedua kakinya sebelum kedua tanganya”.
Ibnu ul Qoyim berpendapat bahwa yang menjadi patokan dalam teks hadits ini adalah teks yang dimuka (jangan menyamai unta dalam turun sujud). Unta dalam turun untuk duduknya mendahulukan dua kaki depan daripada dua kaki belakangnya. Sedang dua kaki depan onta diibaratkan dengan dua tangan manusia, sedang dua kaki belakang onta diibaratkan dengan dua kaki manusia. Maka terkesan jelas ada keterbalikan dalam teks hadits mendahulukan dua tangan dari pada dua kaki dalam sujud tersebut. Menurut Ibnu ul Qoyyim seharusnya mendahulukan dua kaki dari pada dua tangan sebab duduknya onta lebih didahului dengan kedua kaki belakangnya.
Dalam hal ini Imam At Thokhawi berbeda pendapat dengan Ibnu ul Qoyyim. Beliau berpendapat bahwa menyamakan dua kaki depan onta dengan dua tangan manusia adalah satu kesalahan. Sebab antara tangan dan kaki semua jenis hewan dan manusia tidak bisa disamakan. Imam At Thokhawi selanjutnya mengatakan bahwa dua kaki belang yang dimiliki oleh hewan adalah seperti dua tangan pada manusia. Oleh sebab itu menurut Imam At Thokhawi bahwa dalam hadits turun sujud tersebut tidak ada keterbalikan sebagaimana pendapat Ibnu ul Qoyyim.
Nasakh
Ibnu Hajar al Asqolani berkata: bahwa Ibnu Khuzaimah menganggap hadits Abu Hurairah yang mendahulukan kedua tangan adalah mansuh dengan hadist dari Mus’ab bin Sa’ad, sebagaimana berikut;
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى بْنِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ : كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ ، فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ {رواه ابن خزيمة في صحيحه والبيهقي}
Artinya : dari Mus’ab bin Sa’ad, dari Sa’ad. Ia berkata : kami dahulunya meletakan tangan sebelum lutut (dalam sujud), kemudian kami diperintahkan untuk mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan. (HR. Ibnu Khuzaimah dan al Baihaqi).
Kalaulah hadits diatas shohih maka akan menjadi bukti kuat akabn adanya mansuh terhadap riwayat sebelumnya. Namun sangat disayangkan hadits diatas tidak selamat dari kelemahan dari rowi yang meriwayatkan hadits. Dalam sanad tersebut ada dua rowi yang para ulama melemahkannya. Dua rowi tersebut adalah Ibrahim bin Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail, dan bapaknya -Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail-.Dua orang tersebut adalah dhoif.
Kesimpulan;
1. Hadits mendahulukan ketika turun sujud adalah hadits ghorib (ahad).
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits tersebut.
3. Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah mendahulukan tangan ketika turun untuk sujud.
4. Madzhab Maliki dan al Auzai, demikian pula Ibn Hazm berpegang mendahulukan tangan ketika sujud.
5. Sedangkan madzhab iman Abu Hanifah, at Tsauri, Ibn Sirin , as Syafii, Ahmad, Ishaq ibn Rohawaih, memilih lebih mendahulukan lutut, dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat cara turun sujut tersebut adalah mukhoyar. (umdah)
والله أعلم بالصواب
[1] Lihat Takhrij hadits tersebut dalam al Muharor fi al hadist oleh ibn Qudamah al Maqdisie yang telah ditakhirj haditsnya dalam ad Durar fi takhrij al Mukharor no hadits 239
jadi nk ikut yg mane?
ReplyDeleteyg mana satu nk ikut ni ? turun lutut dulu ke tangan ?
ReplyDeletesesungguhnya ikutan kaum muslimin itu Al qur'an dan Hadist yang shohih
ReplyDeletemaka dalam permasalahan ini hendaklah mengikuti sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang shahih tadi.